Rabu, 20 Juni 2012

PEMAHAMAN FILSAFAT HINDU DALAM PELAKSANAAN ACARA AGAMA DI BALI



Oleh : Eko Adhitya Pramana S.Ag
  

a. Pendahuluan
Fenomena keagamaan Hindu di Bali nampak didominasi oleh pelaksanaan ritual dan upacara. Bahkan, terkesan kalau upacara-upacara yang dilakukan adalah berdasarkan tradisi. Sedangkan penjelasan tentang fungsi dan makna upacara jarang sekali diberikan kepada umat. Paradigma lain yang ada di masyarakat Bali saat ini adalah munculnya wacana ”back to Weda” sehingga menggiring keinginan umat Hindu untuk selalu melaksanakan agama agar sesuai dengan Weda. Tradisi Hindu Bali yang terkesan sangat lokal dapat memicu munculnya sebuah asumsi bahwa ajaran Hindu di Bali tidak bersumber dari Weda.
Hal itu tentunya akan menjadi titik lemah Hindu ketika berhadapan dengan pemikiran-pemikiran kritis dari umat lain sehingga perlu diungkap lebih lanjut tentang acara agama Hindu di Bali. Untuk itu akan diungkap berbagai hal yang menyangkut acara agama Hindu di Bali sehingga terjawab pertanyaan apakah upacara agama di Bali berdasarkan Weda atau hanya berdasarkan tradisi semata.

b. Pembahasan
Agama Hindu diyakini bersumber dari kitab Catur Weda Samhita, yaitu Rg, Sama, Yajur dan Atharwa Weda. Secara garis besar kitab suci Weda terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian Karma Kanda dan Jnana Kanda. Bagian Karma Kanda terdiri atas kitab-kitab Mantra dan kitab-kitab Brahmana. Sedangkan, bagian Jnana Kanda terdiri atas kitab-kitab Upanisad dan kitab-kitab Aranyaka.
Pada jaman Upanisad, weda dapat ditafsirkan oleh siapapun. Para penafsir Weda itu menjadi Mahaguru dalam sebuah aliran atau sekte. Dalam kurun waktu selanjutnya, di India muncul ribuan sekte yang mengikuti suatu garis perguruan (parampara). Setiap sekte mempunyai kitabnya sendiri yang sering disebut Pancama Veda atau weda kelima. Sekte-sekte itu memiliki aturan sendiri-sendiri dalam mewujudkan konsep ketuhanannya. Kebebasan menafsirkan weda ini mencapai puncaknya dengan munculnya aliran filsafat yang tidak lagi mengakui weda sebagai sumbernya, yaitu Buddha, Jaina, dan Carwaka.
 Sekte-sekte di India terus berkembang hingga saat ini. Bahkan, gerakan-gerakan Hindu modern, seperti Arya Samaj, Brahma Samaj, Gandian, Sai Baba, Hare Rama-Hare Krisna yang pada mulanya adalah gerakan untuk menjaga agama Hindu dari berbagai tantangan konversi agama, juga menjadi sekte-sekte yang berdiri sendiri. Banyaknya sekte tersebut menimbulkan konflik yang berkepanjangan di India terutama disebabkan oleh kompetisi untuk mencari pengikut sebanyak-banyaknya. Memang, konflik tersebut tidak serta merta menjurus pada kekerasan fisik, tetapi lebih bersifat perdebatan teologi yang sangat sulit untuk disatukan hingga saat ini.
Dalam perkembangannya ada beberapa sekte yang masuk ke Indonesia, diantaranya sekte Pasupata, Sakta, Visnu, Bairawa dan Siwa Sidhanta dari India Selatan. Pada abad ke IX, di jaman pemerintahan Prabhu Dharmawangsa Teguh Ananta Wikrama, Majapahit, dilakukan sebuah upaya untuk menyatukan sekte-sekte itu. Dari upaya itulah lahir sebuah sekte baru di Indonesia yang disebut dengan Siwa Sidhanta. Disebut baru karena sekte ini berbeda dengan Siwa Sidhanta yang ada di India Selatan. Siwa Sidhanta Indonesia merupakan gabungan atau sinkretisme beberapa Sekte. Dalam aplikasinya, sekte ini terwujud dalam pengider-ider Dewata Nawa Sangga sebagai sebuah kesatuan dimana Bhatara Siwa adalah pusatnya. Walaupun agama Hindu Indonesia telah lebur dalam satu sekte besar, yaitu Siwa Sidhanta, akan tetapi warna-warna sekte-sekte yang lain tidaklah hilang begitu saja. Sekte-Sekte yang lebur ke dalam Siwa Sidhanta Indonesia dapat diamati dalam sistem ritual, misalnya dalam mantra-mantra pendeta, bentuk bantenan, dan bangunan pura.
Siwa Sidhanta Indonesia bersumber dari Siwatattwa. Inti dari ajaran ini adalah (1) Puja (mantra-mantra berbahasa Sansekerta yang diucapkan oleh pendeta), (2) Seha (mantra-mantra berbahasa Jawa kuno dan bahasa daerah), (3) Sesana (aturan-aturan kependetaan), (4) indik (aturan, Indik banyak sekali jenisnya, misalnya Indik nangun yadnya, Indik nangun Pura) dan (5) Tutur (tentang Tattwa). Dalam kehidupan masyarakat Hindu khususnya di Bali, Siwa tattwa diimplementasikan dalam wujud acara agama. Acara agama Hindu dilakukan sebagai wujud pelaksanaan Panca Yadnya.
Agama Hindu mengajarkan kebebasan dalam merealisasikan dirinya dalam konteks berhubungan dengan Tuhan. Hal ini seperti dijelaskan dalam Bhagavad Gita “dengan jalan apapun dan bagaimanapun kau datang padaKu, akan kuterima sebagai Bhakti karena semua jalan itu sesungguhnya adalah ciptaanKu jua”. Dari sekian banyak jalan yang dapat dilakukan oleh manusia dalam merealisasikan kerinduannya kepada Tuhan, Hindu mengajarkan empat jalan (catur marga), yaitu karma, bhakti, jnana, dan raja yoga. Hal ini sejalan dengan asumsi bahwa tingkat spiritual manusia tidaklah sama sehingga dengan ajaran catur marga seluruh umat dapat melaksanakan ajaran agama. Acara agama pada dasarnya menekankan aspek karma dan bhakti marga.
Karma dan bhakti marga pada hakikatnya adalah pelayanan kepada Tuhan. Dalam aktivitas ini, Tuhan dihadirkan untuk dipuja dan selanjutnya diharapkan dapat memberi anugrah bagi kesejahteraan manusia. Fenomena upacara Yadnya di Bali pada dasarnya meliputi empat hal, yaitu nedunang Bathara Luhuring Akasa, Caru, Nyejerang Bathara, dan nyineb Bhatara. Upacara Yadnya yang diawali dengan nedunang Bathara Luhuring Akasa adalah aktivitas untuk menghadirkan Tuhan yang transenden/Sang Hyang Paramasiwa agar hadir dalam upacara yang dilakukan manusia. Kemudian Tuhan hadir dan mengambil wujud sebagai Bhuta dalam upacara pacaruan. Dengan puja pendeta bhuta yang dipersonifikasikan sebagai hal yang menakutkan disomya menjadi energi yang dapat digunakan oleh manusia untuk kesejahteraannya. Energi itu berwujud sebagai Ista Dewata yang disthanakan di Pura atau palinggih-palinggih lainnya. Hanya setelah Tuhan yang transenden mengambil wujud Ista Dewata maka umat dapat ngaturang Bhakti. Upacara Bhatara masineb bukan berarti Tuhan tidak ada lagi, melainkan upacara ini bertujuan untuk mengembalikan wujud Tuhan sebagai ista dewata ke alam transedental, yaitu wujud beliau sebagai acintya.
Demikianlah implementasi ajaran karma dan bhakti dalam pelaksanaan ajaran agama Hindu di Bali.  Bhagavad Gita IX, sloka 22 menjelaskan sebagai berikut
ananyas cintayan to mam, mad yajinam namas kuru
mam evaisyasasi satyam te, pratijane priyo sime”
artinya,
berbhaktilah padaKu selalu, pusatkan seluruh pikiranmu hanya padaKu, akan Ku berikan segala yang tidak engkau miliki dan akan Ku jaga semua yang telah engkau miliki.
Dari sloka tersebut dapat dicari makna mendalam bahwa puncak dari bhakti adalah pelayanan tulus ikhlas kepada Tuhan sehingga Tuhan pun kasih kepada manusia dan berkenan memberi anugerah dan kesejahteraan, manusa bhakti dewa asih.

c. Simpulan
Acara agama Hindu yang dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali merupakan implementasi dari ajaran Siwatattwa. Siwatattwa adalah sumber dari mashab Siwa Sidhanta Indonesia yang memiliki ciri khas dan membedakan dengan Siwa Sidhanta di India Selatan. Siwa Sidhanta Indonesia merupakan sinkretisme atau peleburan dari berbagai sekte yang ada. Ajaran Siwa Sidhanta  lahir dari pemikiran upanisad yang bersumber dari Weda. Jadi, acara agama Hindu yang dilaksanakan oleh umat Hindu khususnya di Bali adalah bersumber dari Weda bukan sekedar tradisi semata tanpa dasar yang jelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar