Oleh : Eko Adhitya Pramana S.Ag
a.
Pendahuluan
Hal itu tentunya akan
menjadi titik lemah Hindu ketika berhadapan dengan pemikiran-pemikiran kritis
dari umat lain sehingga perlu diungkap lebih lanjut tentang acara agama Hindu
di Bali. Untuk itu akan diungkap berbagai hal yang menyangkut acara agama Hindu
di Bali sehingga terjawab pertanyaan apakah upacara agama di Bali
berdasarkan Weda atau hanya berdasarkan tradisi semata.
b.
Pembahasan
Agama Hindu diyakini
bersumber dari kitab Catur Weda Samhita,
yaitu Rg, Sama, Yajur dan Atharwa Weda. Secara garis besar kitab
suci Weda terbagi menjadi dua bagian,
yaitu bagian Karma Kanda dan Jnana Kanda. Bagian Karma Kanda terdiri atas kitab-kitab Mantra dan kitab-kitab Brahmana.
Sedangkan, bagian Jnana Kanda terdiri
atas kitab-kitab Upanisad dan kitab-kitab Aranyaka.
Pada jaman Upanisad, weda dapat ditafsirkan oleh
siapapun. Para penafsir Weda itu menjadi Mahaguru dalam sebuah aliran atau sekte.
Dalam kurun waktu selanjutnya, di India muncul ribuan sekte yang mengikuti
suatu garis perguruan (parampara). Setiap
sekte mempunyai kitabnya sendiri yang sering disebut Pancama Veda atau weda kelima. Sekte-sekte itu memiliki aturan
sendiri-sendiri dalam mewujudkan konsep ketuhanannya. Kebebasan menafsirkan weda
ini mencapai puncaknya dengan munculnya aliran filsafat yang tidak lagi
mengakui weda sebagai sumbernya, yaitu Buddha,
Jaina, dan Carwaka.
Sekte-sekte
di India
terus berkembang hingga saat ini. Bahkan, gerakan-gerakan Hindu modern, seperti
Arya Samaj, Brahma Samaj, Gandian, Sai
Baba, Hare Rama-Hare Krisna yang pada mulanya adalah gerakan untuk menjaga
agama Hindu dari berbagai tantangan konversi agama, juga menjadi sekte-sekte
yang berdiri sendiri. Banyaknya sekte tersebut menimbulkan konflik yang berkepanjangan
di India
terutama disebabkan oleh kompetisi untuk mencari pengikut sebanyak-banyaknya.
Memang, konflik tersebut tidak serta merta menjurus pada kekerasan fisik,
tetapi lebih bersifat perdebatan teologi yang sangat sulit untuk disatukan
hingga saat ini.
Dalam perkembangannya ada
beberapa sekte yang masuk ke Indonesia,
diantaranya sekte Pasupata, Sakta, Visnu,
Bairawa dan Siwa Sidhanta dari
India Selatan. Pada abad ke IX, di jaman pemerintahan Prabhu Dharmawangsa Teguh Ananta Wikrama, Majapahit, dilakukan
sebuah upaya untuk menyatukan sekte-sekte itu. Dari upaya itulah lahir sebuah
sekte baru di Indonesia
yang disebut dengan Siwa Sidhanta. Disebut baru karena sekte ini berbeda dengan
Siwa Sidhanta yang ada di India
Selatan. Siwa Sidhanta Indonesia merupakan
gabungan atau sinkretisme beberapa Sekte. Dalam aplikasinya, sekte ini terwujud
dalam pengider-ider Dewata Nawa Sangga sebagai
sebuah kesatuan dimana Bhatara Siwa
adalah pusatnya. Walaupun agama Hindu Indonesia telah lebur dalam satu sekte
besar, yaitu Siwa Sidhanta, akan
tetapi warna-warna sekte-sekte yang lain tidaklah hilang begitu saja.
Sekte-Sekte yang lebur ke dalam Siwa
Sidhanta Indonesia
dapat diamati dalam sistem ritual, misalnya dalam mantra-mantra pendeta, bentuk bantenan, dan bangunan pura.
Siwa
Sidhanta Indonesia bersumber dari Siwatattwa. Inti dari ajaran ini adalah (1) Puja (mantra-mantra berbahasa Sansekerta yang diucapkan oleh
pendeta), (2) Seha (mantra-mantra berbahasa Jawa kuno dan bahasa daerah), (3) Sesana (aturan-aturan kependetaan), (4) indik (aturan, Indik banyak sekali jenisnya, misalnya Indik nangun yadnya, Indik nangun Pura) dan (5) Tutur (tentang
Tattwa). Dalam kehidupan masyarakat
Hindu khususnya di Bali, Siwa tattwa diimplementasikan
dalam wujud acara agama. Acara agama Hindu dilakukan sebagai wujud pelaksanaan Panca Yadnya.
Agama Hindu mengajarkan
kebebasan dalam merealisasikan dirinya dalam konteks berhubungan dengan Tuhan.
Hal ini seperti dijelaskan dalam Bhagavad Gita “dengan jalan apapun dan
bagaimanapun kau datang padaKu, akan kuterima sebagai Bhakti karena semua jalan
itu sesungguhnya adalah ciptaanKu jua”. Dari sekian banyak jalan yang
dapat dilakukan oleh manusia dalam merealisasikan kerinduannya kepada Tuhan,
Hindu mengajarkan empat jalan (catur
marga), yaitu karma, bhakti, jnana,
dan raja yoga. Hal ini sejalan dengan asumsi bahwa tingkat spiritual
manusia tidaklah sama sehingga dengan ajaran catur marga seluruh umat dapat melaksanakan ajaran agama. Acara
agama pada dasarnya menekankan aspek karma
dan bhakti marga.
Karma
dan bhakti marga pada hakikatnya adalah
pelayanan kepada Tuhan. Dalam aktivitas ini, Tuhan dihadirkan untuk dipuja dan
selanjutnya diharapkan dapat memberi anugrah bagi kesejahteraan manusia.
Fenomena upacara Yadnya di Bali pada dasarnya meliputi empat hal, yaitu nedunang Bathara Luhuring Akasa, Caru,
Nyejerang Bathara, dan nyineb
Bhatara. Upacara Yadnya yang diawali dengan nedunang Bathara Luhuring Akasa adalah aktivitas untuk menghadirkan
Tuhan yang transenden/Sang Hyang
Paramasiwa agar hadir dalam upacara yang dilakukan manusia. Kemudian Tuhan
hadir dan mengambil wujud sebagai Bhuta dalam
upacara pacaruan. Dengan puja pendeta
bhuta yang dipersonifikasikan sebagai
hal yang menakutkan disomya menjadi
energi yang dapat digunakan oleh manusia untuk kesejahteraannya. Energi itu
berwujud sebagai Ista Dewata yang disthanakan di Pura atau
palinggih-palinggih lainnya. Hanya setelah Tuhan yang transenden mengambil
wujud Ista Dewata maka umat dapat ngaturang Bhakti. Upacara Bhatara masineb bukan berarti Tuhan
tidak ada lagi, melainkan upacara ini bertujuan untuk mengembalikan wujud Tuhan
sebagai ista dewata ke alam
transedental, yaitu wujud beliau sebagai acintya.
Demikianlah implementasi
ajaran karma dan bhakti dalam pelaksanaan ajaran agama Hindu di Bali. Bhagavad Gita IX, sloka 22 menjelaskan
sebagai berikut
“ananyas cintayan to mam, mad yajinam namas kuru
mam
evaisyasasi satyam te, pratijane priyo sime”
artinya,
berbhaktilah
padaKu selalu, pusatkan seluruh pikiranmu hanya padaKu, akan Ku berikan segala
yang tidak engkau miliki dan akan Ku jaga semua yang telah engkau miliki.
Dari sloka tersebut dapat dicari makna
mendalam bahwa puncak dari bhakti adalah
pelayanan tulus ikhlas kepada Tuhan sehingga Tuhan pun kasih kepada manusia dan
berkenan memberi anugerah dan kesejahteraan, manusa bhakti dewa asih.
c.
Simpulan
Acara agama Hindu yang
dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali merupakan implementasi dari ajaran Siwatattwa. Siwatattwa adalah sumber dari mashab Siwa Sidhanta Indonesia
yang memiliki ciri khas dan membedakan dengan Siwa Sidhanta di India Selatan.
Siwa Sidhanta Indonesia
merupakan sinkretisme atau peleburan dari berbagai sekte yang ada. Ajaran Siwa Sidhanta lahir dari pemikiran upanisad yang bersumber dari Weda.
Jadi, acara agama Hindu yang dilaksanakan oleh umat Hindu khususnya di Bali adalah bersumber dari Weda bukan sekedar tradisi
semata tanpa dasar yang jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar