Posting BY; Eko Adhitya Pramana, S.Ag
Tradisi menghitung
hari baik (wariga) telah ada semenjak
orang Bali belum beragama Hindu, sedangkan agama Hindu yang datang kemudian
hanya mempermuliakannya dengan ajaran-ajaran agama yang lebih mantap.
Pernyataan bahwa
ilmu wariga telah berkembang di Bali
sebelum Hindu masuk mengindikasikan adanya masyarakat pra-Hindu di Bali yang memiliki kebudayaan tertentu. Untuk
menganalisis bentuk kebudayaan masyarakat pada masa itu maka dapat digunakan
logika terbalik, yaitu dengan melihat bentuk wariga yang diwarisi sekarang sebagai hasil interaksi budaya Bali dan jyotisa Hindu
maka akan diketahui budaya masyarakat pada waktu itu.
Secara garis besar
Ilmu wariga dibagi menjadi beberapa
bagian, diantaranya: dauh (saat), penanggal (tanggal setelah bulan mati), panglong (tanggal menuju bulan mati), wewaran (perhitungan hari dari eka wara sampai dasa wara), pawukon (perhitungan
wuku; terdiri atas 30 wuku), sasih (bulan;
terdiri atas 12 bulan) dan warsa (tahun).
Dalam kepercayaan masyarakat Hindu di Bali, setiap bagian dari perhitungan wariga di atas memiliki nilai hidup atau
urip sendiri-sendiri, bahkan
dipercayai sebagai milik dewa-dewa tertentu sehingga suatu hari dibedakan
dengan hari lainnya. Perhitungan yang rumit atas urip rahina, wuku dan sasih menghasilkan sebuah sistem yang
disebut ala ayuning dewasa (baik-buruknya
hari). Jika diamati dengan teliti padewasan
yang tertulis dalam kelender Bali maka kita akan melihat hari baik (dewasa ayu) yang lebih banyak berguna
bagi masyarakat agraris, misalnya tentang menanam padi,
menanam palawija,
membuat alat penangkap ikan, berburu, mendirikan rumah, menggali sumur, dan
sebagainya. Dalam bidang sosial mungkin dapat dilihat beberapa hari baik untuk
membentuk organisasi, mengadakan rapat, memulai usaha, dan lain-lain. Artinya, wariga pada awalnya adalah cocok bagi
masyarakat agraris yang memiliki cara hidup sederhana, sosial, religius,
tenteram dan damai. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat Bali pra-Hindu yang dimaksudkan di atas adalah masyarakat
agraris.
Dalam kurun waktu yang cukup lama ilmu
wariga tetap hidup dalam masyarakat Bali. Rupanya masih ada orang-orang tertentu yang
melestarikannya hingga saat ini, meskipun jika dilihat sepintas memerlukan
perhitungan yang cukup rumit.
Rupanya di era
modern ini masyarakat Bali masih menyimpan
kepercayaan terhadap wariga yang
telah diwarisi turun-temurun. Hal ini menjadi menarik untuk mengkaji landasan
filosopi masyarakat Bali yang berkaitan dengan pengaruh wariga terhadap kehidupannya, terutama menyangkut filosopi ruang
dan waktu masyarakat Bali. Dapat diuraikan
bahwa ruang dan waktu masyarakat Hindu Bali secara filsafati dibagi menjadi dua
konsepsi, yaitu sakral dan profan. Konsep ini menunjukkan adanya konsep
dualisme dalam satu makna (unity in
diversity) atau dalam bahasa yang lebih populer di Bali
disebut rwa bhineda. Sakral adalah
sesuatu yang suci, dimuliakan, dan berdimensi vertikal yang hanya dapat
dibedakan melalui pikiran bukan aspek kebendaanya (Triguna,2003:6-7).
Sebaliknya, yang dimaksud profan adalah suatu keadaan yang biasa atau normal.
Pertentangan pandangan dan pemaknaan terhadap yang sakral dengan yang profan,
tampak berpengaruh dalam aktivitas masyarakat Bali
terutama dalam religiusitasnya. Perlakuan yang diberikan terhadap hal yang
dianggap sakral akan tampak lebih istimewa jika dibandingkan dengan yang
profan.
Konsep ruang dalam
kepercayaan masyarakat Bali dalam klasifikasi
simbolis yang dualistis tampak jelas dalam pandangannya terhadap arah mata
angin. Arah Timur (Purwa atau Kangin) dan arah Utara (Uttara
atau Kaja) adalah arah yang
dianggap sakral dan dipertentangkan dengan arah Barat (Pascima atau Kauh) dan
Selatan (Daksina atau Kelod) sebagai arah yang dianggap leteh atau kotor. Pandangan sakral dan
profan ini tidak saja hanya ada pada
tataran konseptual, tetapi menjadi ide masyarakat Bali
dalam membentuk kebudayaannya. Misalkan dalam arsitektur tradisional Bali,
denah bangunan sangat terpengaruh oleh konsepsi sakral dan profan sehingga
tampak bahwa merajan selalu menempati
arah airsanya (timur laut) sebagai
arah ulu, sedangkan sumur, dapur,
berada di sebelah Barat Daya sebagai arah teben.
Kenyataan serupa
terjadi, juga pada pandangan masyarakat Bali
terhadap waktu. Siang-malam, terang-gelap, adalah pasangan simbolik dualistis
yang membagi waktu sakral dan profan masyarakat Bali.
Dalam simbolik yang tripartit maka muncul satu waktu antara (sandyakala) yang menjadi sangat tenget bagi masyarakat Bali.
Artinya, pertemuan antara dua waktu yang beroposisi akan menimbulkan sesuatu
diyakini sakral oleh masyarakat Bali.
Wariga sebagai
warisan tradisional tetap berfungsi positif bagi masyarakat modern yang cukup ilmiah. Dengan
menggunakan wariga untuk menentukan
waktu dan jenis pekerjaan yang akan dilakukan maka setidaknya wariga memberikan harapan-harapan
suksesnya pekerjaan itu. Tentunya dengan diimbangi dengan profesionalisme dan
etos kerja yang tinggi sesuai dengan bidang pekerjaan yang dilakukan. Masalah
profesionalisme dan etos kerja orang Bali akan menjadi menarik ketika hal ini
dikonfrontasikan dengan banyaknya dewasa
ayu dalam kalender Bali. Seperti telah
diuraikan di atas bahwa dalam satu tahun, setidaknya ada 80 kali orang Bali
harus melaksanakan rarahinan atau
hari suci keagamaan yang berarti bahwa orang Bali akan meninggalkan
pekerjaannya. Artinya, jika orang Bali tetap memperhatikan wariga dalam berbagai aktivitasnya maka orang Bali
tidak mungkin profesional.
Kemampuan
mempertahankan nilai tradisional dalam kehidupan modern ini merupakan
keunggulan masyarakat Bali dalam mengatur dan
menyiasati waktu. Banyaknya hari baik (dewasa
ayu) yang sepertinya tidak memberikan celah bagi masyarakat Bali untuk
berkarier, seakan-akan tidak dirasakan oleh orang Bali.
Orang Bali begitu cerdas untuk memenej waktu
sehingga pekerjaan kantor dan aktivitas adat dapat berjalan seimbang. Gunadha
(2004) menyatakan bahwa pendidikan manajemen orang Bali telah ada sejak dahulu, yaitu dalam aktivitas
di desa adat. Lebih lanjut Gunadha memberikan contoh bahwa untuk melaksanakan upacara/karya agung, masyarakat adat
telah memiliki cara-cara yang serupa dengan manajemen modern seperti
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban sehingga aktivitas
tersebut dapat terlaksana tepat pada waktunya. Hal ini menunjukkan bahwa orang Bali memiliki bentuk manajemen tersendiri untuk mengatur
kehidupan sosial budayanya.
Di era modern ini,
aturan-aturan desa adat juga tampak cukup fleksibel sehingga memberikan peluang
yang lebih besar bagi warga adat yang ingin mengembangkan karier dan
profesionalitasnya. Misalnya, tampak dalam aturan mengenakan dedosan atau denda bagi masyarakat yang
tidak mengikuti beberapa kegiatan adat. Aturan ini memberikan peluang bagi
warga adat yang sibuk dengan pekerjaan untuk terus dapat melaksanakan
pekerjaannya tanpa terganggu oleh aktivitas adat, walaupun nampak aturan ini
hanya menguntungkan kalangan borjuis. Memang aturan ini dapat mendidik warga
untuk menjadi materialistis atau dalam bahasa yang lebih kasar bahwa kalangan
borjuis dapat membeli kegiatan adat. Sebaliknya, masyarakat yang selalu sibuk
dengan pekerjaan adat tampak tidak akan berkembang secara ekonomi sehingga ada
peluang munculnya kelas sosial baru, yaitu warga adat yang kaya (kalangan
profesional yang borjuis) dan warga adat biasa (tradisional).
Akan tetapi dalam
fenomena yang lebih umum kesenjangan sosial seperti itu tidak sedemikian rupa
muncul ke permukaan karena hampir tidak ada warga adat yang samasekali tidak
pernah mengikuti kegiatan adat. Kegiatan adat yang dilaksanakan pada hari libur
dapat diikuti oleh seluruh warga adat secara bersama-sama sehingga tampak bahwa
warga adat berada dalam kesetaraannya, yaitu sebagai warga adat. Ada juga kalangan
profesional yang mengikuti kegiatan adat setelah jam kantor. Artinya, manajemen
waktu masyarakat Bali telah mampu mengatasi
masalah-masalah dalam kaitannya dengan kehidupan sosial budayanya.